Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Suka Duka Jadi Blasteran Toraja - Makassar

Meskipun sekarang saya sudah bisa menulis banyak hal tentang Makassar, tetapi dulu pernah ada masanya, saya benar-benar sangat asing dengan bahasa Makassar. Padahal, saya lahir dan tumbuh di Makassar. Bahkan waktu itu untuk sekadar menghapal aksara lontara pun rasanya cukup susah.

Bisa dibilang hal tersebut terjadi karena bapak dan ibu saya bukan orang asli Makassar. Mereka pendatang di Makassar. Bapak orang Jawa, ibu orang Toraja. Mereka ketemu di Makassar, dijodohkan, menikah, lalu lahirlah saya dan adik-adik saya.

icon toraja makassar
source: idntimes (icon Toraja-Makassar)

Dulu, saat masih duduk dibangku SD, setiap kali ada PR bahasa daerah, bapak dan ibu saya tidak bisa membantu banyak. Paling Cuma sekadar membantu mengartikan beberapa kata yang memang sering kami pakai/dengar dalam kehidupan sehari-hari. Selebihnya, saya selalu meminta bantuan tetangga, Daeng Sese namanya (saya memanggilnya Om Sese).

Om Sese itulah yang mengajari dan menyemangati saya untuk lebih giat berlatih menulis dan membaca aksara lontara—yang ada di buku bahasa daerah. Nggak yang gimana-gimana banget sih, setidaknya aksara dasar yang ka, ga, nga, pa, ba, ma, dan seterusnya itu. Beliau jugalah yang menjadi “pelatih vocal” untuk saya ketika ada tugas menyanyikan lagu bahasa Makassar di depan kelas. Bahwa pengucapan lirik yang benar itu adalah tak-ka-lup-pa, bukan takalupa.

Beliau juga yang sering melatih saya ngobrol pakai bahasa Makassar. Bahasa sehari-hari orang Makassar dan bahasa Makassar itu berbeda. Sederhananya, dialek Makassar dengan bahasa daerah Makassar itu berbeda. Jadi meskipun sehari-hari saya sudah tidak asing dengan dialek Makassar, tentu saja hal tersebut bukan jaminan bahwa saya tahu banyak tentang bahasa Makassar. Sampai sekarang pun saya masih belajar, hehehe.

Bingung Bahasa Karena Jadi Blasteran Toraja - Makassar

Ketika masih kecil, saya juga sempat merasakan yang namanya bingung bahasa. Setiap kali dibawa pulang ke kampung ibu di Toraja, saya butuh waktu untuk beradaptasi untuk berbicara. Soalnya logat kedua daerah itu sangat jauh berbeda. Sampai sekarang juga kalau lagi di Toraja, saya masih suka kelepasan bawa logat Makassar.

Di Toraja, bahasa sehari-hari yang digunakan memang seringnya adalah bahasa Toraja, beda sama daerah tempat saya tinggal di Makassar, yang kalau sehari-hari kebanyakan pakai bahasa Indonesia ala Makassar alias dialek Makassar.

Dialek Toraja dengan dialek Makassar itu juga jauh berbeda. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia: rumah Anda di mana?

Dialek Makassar : di mana rumahta’?

Dialek Toraja : di mana rumahmi?

Berbeda bukan? Padahal, dalam kamus bahasa sehari-hari orang Makassar juga mengenal partikel mi. Namun, ada perbedaan jika digunakan dalam dialek Toraja.

Karena adanya perbedaan bahasa itulah, saya jadi harus belajar menempatkan diri. Di kepala saya seperti ada tombol switch off yang berfungsi sebagai pengontrol, kapan saya harus pakai dialek Makassar, kapan harus mengeluarkan dialek Toraja.

Dulu kalau baru pulang dari Toraja dan masih pakai logat orang sana, sampai ke Makassar biasanya saya diledekin atau malah kena tegur. Lagi di Toraja dan pakai logat Makassar pun begitu, kadang diledekin sama keluarga. Yang paling sering itu kalau saya keceplosan mengganti mu menjadi nu. Bajunu. Di Makassar kan itu memang sudah seperti itu biasanya, di Toraja itu tidak berlaku.

Belum lagi kalau ada satu kata yang sama, tetapi beda artinya. Contohnya kata bosi. Dalam bahasa Toraja, bosi artinya busuk (tentang buah, daging, dan sebagainya), sementara dalam bahasa Makassar, bosi itu artinya hujan. 

Nah, itu saya pernah sempat bingung dan salah paham. Lagi di Toraja, terus ada tante yang buang buah apa gitu saya lupa, alasannya karena bosi katanya. Tadinya saya kira bosi itu karena buahnya sudah kena hujan jadi mending dibuang saja. Eh, ternyata maksudnya karena sudah busuk, hahaha.

Belum lagi masalah identitas kesukuan. Di Toraja kadang saya dibilang orang Jawa kadang dibilang orang Makassar. Di Makassar, saya dibilang orang Toraja. Kasian amat nggak ada yang akuin.

Kalau saya pikir-pikir lagi, adanya perbedaan antara suku atau daerah asal orang tua saya dengan daerah tempat kami tinggal saat ini, secara tidak langsung malah membuat saya jadi lebih akrab dengan dua kebudayaan dalam waktu yang bersamaan.

Maunya sih tiga, tetapi apa boleh buat. Meskipun bapak saya orang Jawa, tetapi saya masih sangat asing dengan banyak hal tentang Jawa. Saya juga belum pernah ke kampungnya bapak.

Bapak saya juga bukan nggak mau ngajarin, tapi ya itu, bapak takutnya saya dan adik-adik makin bingung. Yang pasti, waktu adik saya masih bayi, bapak sering nyanyi lagu Jawa sebagai pengantar tidur. Perihal makanan pun, bapak suka memasak masakan Jawa kalau di rumah.

Jadi ya begitu lah cerita saya tentang status blasteran. Ada yang mengalami hal yang sama? Mari kita berbagi cerita!


Author: UtamyyNingsih










Han
Han Lebih suka dipanggil Han ketimbang Lohan. Menikmati sebagai penuntut ilmu sejati. Blogger cupu yang punya mimpi seperti bos kapanlagi

Post a Comment for "Suka Duka Jadi Blasteran Toraja - Makassar"