Ketika Anggaran Pendidikan Dipotong, Apakah Masa Depan Kita Ikut Terpangkas?
Beberapa waktu lalu, mahasiswa di berbagai kota menggelar aksi yang diberi nama “Indonesia Gelap”. Simbol lampu dimatikan di ruang-ruang kampus hingga unjuk rasa dengan lilin menyala menggambarkan keresahan bersama: masa depan pendidikan sedang diabaikan. Pemangkasan anggaran pendidikan oleh pemerintah dipandang sebagai tamparan keras bagi generasi muda yang sedang berjuang menata jalan hidupnya.
Selama ini, pendidikan kerap disebut sebagai investasi jangka panjang. Namun, ketika anggarannya justru dikurangi, banyak orang bertanya-tanya: apakah pendidikan masih dianggap prioritas? Ataukah hanya sekadar formalitas yang dirayakan di panggung wisuda dengan toga dan senyum, tanpa menjamin apa pun setelahnya?
Antara Euforia Wisuda dan Realita Pasar Kerja
Bagi sebagian mahasiswa, wisuda memang menjadi puncak perjalanan panjang. Tangisan orang tua, bunga wisuda dari sahabat, dan senyum bangga dosen di auditorium sering kali dipersepsikan sebagai titik keberhasilan.
Namun, setelah itu, realitas dunia kerja tidak selalu ramah.
Ironisnya, di tengah pemangkasan anggaran pendidikan, pemerintah justru mendorong lulusan agar lebih cepat terserap pasar kerja. Tapi bagaimana mungkin lulusan bisa siap, jika fasilitas, kurikulum, hingga riset kampus tidak mendapat dukungan memadai?
Pada akhirnya, ijazah dan bunga wisuda hanya menjadi simbol manis sesaat, sementara kehidupan nyata menuntut keterampilan yang sering kali belum dipelajari di kampus.
Lulusan Baru dan Jalan Pintas Outsourcing
Fenomena pengangguran intelektual bukanlah cerita baru. Data terbaru bahkan menunjukkan lebih dari satu juta pengangguran di Indonesia adalah lulusan universitas. Angka ini bukan hanya statistik, tapi potret nyata betapa pendidikan formal masih jauh dari dunia kerja yang dinamis.
Di tengah kondisi itu, banyak anak muda memilih jalan pintas dengan bergabung ke perusahaan outsourcing Jakarta. Bagi sebagian orang, ini dianggap langkah pragmatis: tidak perlu menunggu pekerjaan ideal, yang penting bisa mendapat penghasilan.
Namun, keputusan ini juga memperlihatkan betapa lemahnya sistem pendidikan kita menyiapkan lulusan untuk menghadapi persaingan global.
Outsourcing bukanlah masalah pada dirinya sendiri, sektor ini bisa jadi jembatan bagi anak muda. Tapi ketika mayoritas lulusan perguruan tinggi akhirnya harus “turun kelas” ke jalur ini, maka ada yang keliru dengan sistem pendidikan kita. Anggaran yang dipangkas hanya akan memperlebar jurang antara idealisme kampus dengan kenyataan dunia kerja.
Pendidikan yang Terancam Jadi Komoditas
Protes Indonesia Gelap juga menyuarakan keresahan yang lebih dalam: jangan sampai pendidikan berubah menjadi sekadar komoditas. Mahasiswa menolak kampus hanya menjadi pabrik ijazah tanpa visi keberlanjutan. Apalagi ketika biaya kuliah makin tinggi, fasilitas makin terbatas, dan peluang kerja makin menyempit.
Pemangkasan anggaran akan memperburuk ketimpangan ini. Mahasiswa dari keluarga mampu mungkin bisa menutupinya dengan kursus tambahan, pelatihan, atau studi ke luar negeri. Namun, mereka yang berasal dari keluarga biasa akan semakin terpinggirkan. Akhirnya, pergulatan di ruang kelas hanya berakhir dengan gelar yang tidak kompetitif.
Pendidikan Sebagai Investasi Sosial
Di balik kritik keras, mahasiswa sebenarnya membawa pesan yang jelas: pendidikan bukan sekadar urusan kampus dan mahasiswa, tapi juga urusan bangsa. Dengan pendidikan yang memadai, kita bisa mencetak generasi yang kritis, inovatif, dan berdaya saing.
Ketika pemerintah memangkas anggaran pendidikan, artinya mereka juga memangkas peluang bangsa untuk tumbuh lebih maju. Memang, hasil investasi pendidikan tidak terlihat dalam satu-dua tahun. Namun, tanpa fondasi yang kuat, masa depan hanya akan jadi siklus pengulangan: wisuda, bunga wisuda, foto keluarga, lalu realita pahit pengangguran.
Cahaya yang Harus Dipertahankan
Jika pemerintah serius ingin membangun bangsa, anggaran pendidikan harus dipandang sebagai investasi sosial, bukan beban pengeluaran.
Karena pada akhirnya, setiap mahasiswa yang melangkah di panggung wisuda berhak membawa bunga wisuda bukan hanya sebagai kenangan indah, tetapi juga sebagai simbol masa depan yang benar-benar punya harapan.
Dan tentu, mereka juga berhak mendapatkan kesempatan kerja yang layak, lebih dari sekadar bergantung pada sektor outsourcing di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Pendidikan sejatinya adalah janji: janji bahwa setiap pelajar yang berjuang tidak akan dibiarkan berjalan dalam kegelapan.


Post a Comment for " Ketika Anggaran Pendidikan Dipotong, Apakah Masa Depan Kita Ikut Terpangkas?"