Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Before, Now, and Then. Nana yang Menyuarakan Kegetiran Korban Patriarki

Ningsih (Rieke Dyah Pitaloka) bersama Nana (Happy Salma) dan bayinya, memilih kabur ke hutan untuk menghindar dari "para gerembolan". Pemimpin para gerembolan tersebut, ingin menikahi Nana.

Namun, ayah Nana tidak setuju. Penolakan tersebut pun berakhir dengan terbunuhnya ayah Nana. Sementara itu, suami Nana sudah terlebih dulu menghilang, hingga membuat Nana yakin bahwa suaminya telah tiada.

Lima belas tahun kemudian, Nana diceritakan telah menikah dengan seorang lurah yang usianya lebih tua. Kehidupannya tampak sempurna; punya keluarga harmonis dengan kondisi ekonomi yang mapan.

Akan tetapi, kesempurnaan tersebut memang hanya sekadar kulit luarnya saja. Nyatanya, trauma masa lalu, masih terus datang sebagai mimpi buruk pada setiap malam. Kehidupan Nana dihantui  kegelisahan. Tidak sehari pun ia lewati tanpa bayang masa lalu; kabur dari gerombolan, ayah yang terbunuh, dan suami yang hilang tanpa jejak.

Selain itu, Nana juga hidup dalam budaya patriarki yang kental. Sebagai istri, ia dituntut untuk menjaga keharmonisan keluarga, agar suami betah di rumah. Seolah-olah suami adalah benda yang bisa ditaruh dan diatur sesuai kemauan.

Belum lagi cibiran yang kerap diterima oleh Nana karena persoalan latar belakang masa lalunya. Semua itu lantas menjadi beban yang membuat Nana begitu akrab dengan kesunyian. Dialog tentang rambut/konde yang dianalogikan sebagai aib rumah tangga yang harus disembunyikan pun, jadi dialog paling memorable dari seorang Nana.

before now and then

Ketika kemudian ia menemui fakta bahwa suaminya berselingkuh, Nana lagi-lagi lebih memilih menjalaninya dengan ketenangan yang ia punya. Tidak ada adegan perebutan laki-laki dalam film ini, Nana dan Ino (Laura Basuki) justru menjadi teman berbagi keresahan.

Keputusan yang pada akhirnya dipilih Nana sebagai pilihannya menjalani masa depan adalah sebuah langkah berani yang diikuti suara sumbang dari lekatnya budaya patriarki.

Review Before, Now, and Then

Satu lagi film Indonesia yang beberapa bulan lalu telah mengepakkan sayap di berbagai festival film luar negeri.

Before, Now, and Then adalah film karya Kamila Andini, sutradara yang sama untuk film Yuni. Sama seperti Yuni, Nana pun adalah film berbahasa daerah. Bedanya, Yuni memakai bahasa Jawa-Serang, sementara Nana sangat kental dengan budaya Sunda, termasuk bahasanya.

Dari segi alur cerita, seperti judulnya film ini terdiri dari tiga babak. Dari ketiga babak tersebut, yang lebih panjang di-highlight adalah babak kedua, yaitu ketika Nana telah memulai kehidupan yang baru.

Menariknya, peralihan dari satu babak ke babak yang baru, bukan sekadar menyeret penonton untuk duduk dan melihat, melainkan memberi sajian cerita yang berkesan.

Film ini juga bertabur simbol-simbol yang sarat akan pesan kehidupan. Selain rambut dan konde, Nana yang berbagi rokok dengan Ino pun jadi simbol bagaimana Nana membagi tekanan, kesunyian, dan segala macam ketakutannya selama menjadi istri Pak Lurah.

Nana adalah perempuan yang memilih tunduk dan diam, berbeda dengan Ino yang lebih lantang bersuara.

Nana hanya bisa menahan kegetiran ketika di satu sisi ia dituntut menjadi istri yang harus pintar mengurus rumah agar suami betah, tetapi di sisi lain ia seperti sebuah momok memalukan yang pantas untuk disembunyikan. Dengan latar belakang masa lalu yang ia punya, tempat Nana adalah di belakang masyarakat. Ia tidak diperkenankan hadir sebagai perempuan dengan kehidupan baru.

Film ini begitu nyaring menyuarakan tentang perempuan yang masih menjadi korban meski perang berakhir dan masa berganti.

Di luar unsur cerita, akting para pemain, tidak perlu diragukan lagi. Bahkan pemeran Dais kecil—putri Nana—pun sangat menarik perhatian.

Laura Basuki sebagai Ino juga menjadi magnet dalam film ini. Sosok Ino sebagai perempuan yang berani dan berpikiran terbuka menjadi satu penguat cerita yang menghadirkan antusiasme saat menonton film ini.

Sinematografi apik dengan warna gelap dan nuansa jadul yang begitu kuat adalah satu hal yang ikut menambah nilai positif dalam film ini. Film yang diangkat dari bab awal novel Jais Arga Namaku karya Ahda Imran, mengajak kita melihat sisi lain dari kisah sejarah Indonesia.

Jika tertarik untuk menonton, film ini bisa dinikmati di layanan OTT Prime Video. Selamat menonton!


Author : UtamyyNingsih

Baca juga ulasan film Indonesia lainnya di sini ya!


Han
Han Lebih suka dipanggil Han ketimbang Lohan. Menikmati sebagai penuntut ilmu sejati. Blogger cupu yang punya mimpi seperti bos kapanlagi

2 comments for "Before, Now, and Then. Nana yang Menyuarakan Kegetiran Korban Patriarki"

  1. pengen banget nonton ini tapi belum langganan prime :(

    ReplyDelete
  2. Wah makna film-nya cukup deep dan jadi perenungan untuk para penganut patriarki zaman sekarang. Ternyata sutradaranya sama dengan film Yuni, ya, wah keren banget ini.

    ReplyDelete